
KUDUS – baistnews.com Dinding pemisah antara ormas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) membuat jarak yang cukup lebar. Tembok ini sejatinya bukanlah masalah yang besar, hanya saja tembok yang dimaksud adalah Khilafiyah pada masalah furu’ yang sering menjadi kambing hitam persoalan dalam masyarakat muslim Indonesia, sehingga pada kondisi-kondisi tertentu kedua ormas tersebut nampak sulit untuk mencapai kata bersatu.
Ratusan juta orang yang bernaung dalam ormas Muhammadiyah dan NU bakal berubah dan tergugah dan tergugah seiring diterbitkannya buku Muhammadiyah Itu NU: Dokumen Fiqih yang terlupakan”. Buku yang ditulis oleh Muchammad Ali Shodiqin ini benar-benar suara dari dalam Muhammadiyah sendiri bukan intervensi atau kepentingan dari pihak-pihak tertentu.
Sebuah kalimat menarik sarat makna tercantum diatas diatas deretan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Tokoh Muhammadiyah yang berada di ruang Trilogi Ukhuwah Museum Jenang dan GusJigang, ada sebuah kalimat menarik sarat makna tercantum diatas diatas deretan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Tokoh Muhammadiyah
yakni “Bertitah satu kata, Berbuat seribu, karya, Demi umat dan Bangsa, Jadilah Perekat Umat”.
Diruang Trilogi Ukhuwah pengunjung dapat menyelami pesan-pesan persaudaraan, utamanya dalam konteks dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah.
Keduanya disebut-sebut sebagai kekuatan Islam terbesar Indonesia yang harus bergandengan tangan untuk membangun Indonesia.
Apalagi mengingat kedua ormas tersebut didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari (NU) dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dimana keduanya pernah menimba ilmu pada guru yang sama atau tunggal guru, yaitu KH Sholeh Darat. Karena itulah, tidak ada alasan untuk tidak bersatu dan bergandengan tangan.
Spot tunggal guru juga terdapat di Museum Jenang dan GusJigang, tepatnya di Ruang Trilogi Ukhuwah.
Museum Jenang dan GusJigang Kudus, Jawa Tengah menambah koleksi baru berupa buku “Muhammadiyah Itu NU: Dokumen Fiqih Yang Terlupakan” Buku tersebut diletakkan di ruang Trilogi Ukhuwah, melengkapi Spot Tunggal Guru.
Para pengunjung pun dapat leluasa untuk membaca isi buku tersebut dengan nyaman, karena disediakan juga kursi baca.
Direktur Mubarokfood, Muhamad Hilmy., SE., mengatqkan, jika Buku “Muhammadiyah Itu NU” ditulis oleh Mochammad Ali Shodiqin “Buku ini, meski menyimpan dilema, ingin menyodorkan fakta sejarah yang terlupakan. Bahwa dulu Muhammadiyah sama persis dengan NU, demikian pula sebaliknya,” kata Muhammad Hilmy pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Lebih lanjut Hilmy menambahkan, bermula ketika penulis mendapatkan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 dari tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta, kemudian ia merasa terpanggil untuk menyimpan sejarah tersebut, lalu berinsiatif untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku.
Kitab Muhammadiyah 1924, yang aslinya ditulis dengan bahasa jawa dan huruf Arab Pegon. Bahasa Jawa memang tidak bisa dihindari kalau membahas periode awal Muhammadiyah di Pusat Kebudayaan Jawa, yaitu Kesultanan Yogyakarta.
Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924 sesungguhnya bukan hanya warisan berharga kaum Muhammadiyah saja, melainkan bagi NU. Kitab itu juga kitabnya NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU.
Masalahnya hanyalah satu hal, bahwa di tahun 1924 itu, NU belum lahir, karena NU lahir tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini, yaitu fiqih mazhab Syafi’i.
Jadi walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih, sebagaimana yang ada di dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924.
“Buku ini sangat menarik, dimana tujuannya bukan untuk menyalahkan satu sama lain. Namun untuk memadamkan api yang selama ini membakar jarak antara Muhammadiyah dan NU. Harapannya masing-masing dapat memahami perbedaan untuk melahirkan persatuan yang lebih erat bagi Indonesia dan bersama-sama merancang masa depan negeri ini,” tutup Hilmy.
(L-Man)