KUDUS – baistnews.com Warga Desa Tumpangkrasak, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, kembali menggelar tradisi sakral bertajuk Mapak Satu Suro dengan prosesi budaya Tirta Pusaka “Tetesing Suci Wiyosaning Leluhur”.
Ritual kirab dan penyatuan air dari empat punden (tempat yang dihormati), yakni mulai dari Punden Mbah Surgipati, Jayengrono, Mertoyudho (Gledheg), dan Djowero Muso berlangsung pada Kamis Kliwon atau malam satu suro dalam penanggalan Jawa ini, menjadi perwujudan komitmen masyarakat setempat dalam Nguri-uri kebudayaan atau melestarikan budaya leluhur yang mulai terkikis oleh zaman. Kegiatan ini berlangsung di Aula Balai Desa Tumpangkrasak pada Kamis malam, 26 Juni 2025.
“Masing-masing perwakilan dari empat punden membawa air yang dimasukkan ke dalam tujuh kendi kecil sehingga total ada 28 kendi untuk dimasukkan ke dalam kendi besar untuk disatukan,” kata Kepala Desa Tumpangkrasak Sarjoko Saputro.

Lebih lanjut Sarjoko menambahkan, bahwa tradisi ini bertujuan melestarikan warisan leluhur sekaligus merekatkan kerukunan antarwarga di empat pedukuhan di desa ini.
Ia juga menjelaskan, bahwa tradisi Mapak Suro tidak hanya sebagai kegiatan seremonial, tetapi juga sebagai momentum refleksi dan evaluasi diri atas perjalanan hidup selama setahun terakhir.
“Suro ini menjadi momentum untuk introspeksi. Kami bersama warga mengevaluasi diri, memperbaiki sikap dan kehidupan agar menjadi lebih baik ke depan,” jelasnya.
Puncak kegiatan tradisi ini diawali dengan pengambilan air dari empat punden yang ada di masing-masing pedukuhan. Setiap punden diambil air sebanyak tujuh kendi. Sebanyak 28 kendi ini kemudian dibawa secara kirab menuju balai desa pada Kamis (26/6) malam.
Air dari empat sumber tersebut kemudian disatukan ke dalam satu kendi besar sebagai simbol persatuan. Selanjutnya, warga bersama tokoh desa melangsungkan doa bersama.

Pada hari Minggu pagi (29/6) akan digelar kirab keliling desa karena bertepatan dengan hari libur agar lebih semarak.
“Kirab ini harapannya bisa dinikmati seluruh warga, jadi lebih banyak yang ikut meramaikan karena hari libur,” terangnya.
Selain unsur spiritual dan budaya, prosesi ini mengandung nilai sosial yang kuat. Momentum pengambilan air menyimbolkan kekuatan kolektif masyarakat dalam menjaga warisan sejarah dan kearifan lokal.
Tradisi Tetesing Suci Wiyosaning Leluhur juga menyimpan potensi besar sebagai daya tarik wisata budaya. Dengan pengemasan dan promosi yang tepat, prosesi ini bisa dikembangkan menjadi event tahunan yang menarik wisatawan lokal maupun luar daerah.
“Harapan kami, ini tidak hanya menjaga budaya, tapi juga membuka jalan agar desa kami punya nilai tambah di sektor ekonomi melalui pengembangan wisata budaya,” harap Sarjoko.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kudus, Mutrikan memberikan apresiasi yang tinggi atas semangat warga dan menyampaikan dukungannya untuk Desa Tumpangkrasak dalam upaya nguri-uri budaya leluhur.
Menurutnya, ini merupakan upaya pelestarian budaya berbasis kearifan lokal yang luar biasa. Tradisi ini bisa menjadi bagian dari pengembangan desa ke arah desa wisata, sehingga kedepan nantinya dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Desa Tumpangkrasak.
“Kami siap mendampingi dan memfasilitasi, agar potensi budaya dan ekonomi masyarakat di sini bisa lebih menggeliat lagi,” ujar Tika.
(L-Man)





